Wahh, Inilah 6 Cara Kaum Toxic “Meracuni” Korbannya
Dalam bergaul, waspadalah dengan bentuk-bentuk komunikasi di bawah ini!
Agar bisa mengeksploitasi korbannya, orang toxic harus terlebih dahulu memasukkan “racun-racunnya” ke dalam pikiran dan perasaan para korbannya. Untuk tujuan itu, ada 6 strategi yang biasa mereka lakukan. Mari kita bahas lebih jauh:
1. Perilaku Deseptif (a ka Pencitraan)
Perilaku deseptif (deceptive behavior) adalah upaya si toxic untuk menciptakan kesan atau karakter tertentu tentang dirinya di mata orang lain (yang biasanya positif), guna menutupi niat, tujuan, dan karakter-karakter negatif mereka. Bahasa populer untuk hal ini adalah pencitraan. Bisa dikatakan, perilaku deseptif (alias pencitraan) adalah pondasi dasar dari seluruh strategi jahat kaum toxic. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keyakinan, kepercayaan, keterbukaan, rasa segan, bahkan rasa takut dari para korbannya. Adapun basis dari perilaku deseptif tersebut adalah kebohongan, pemutarbalikan fakta, penyembunyian fakta, pemilihan dan framing fakta, membuat hoax, dsb. Secara spesifik, ada beberapa bentuk perilaku deseptif yang biasa dilakukan oleh kaum toxic, yaitu:
- Berperan sebagai korban : Ia selalu membuat narasi bahwa dirinya adalah korban dari perilaku buruk orang lain, selalu dikhianati, banyak yang iri dan dengki padanya, banyak yang berniat jahat padanya, selalu disakiti, dsb. Tujuan dari hal ini adalah jelas, agar ia selalu mendapatkan simpati, perhatian dan belas kasih dari orang lain.
- Berperan sebagai pahlawan : Ia selalu membuat narasi bahwa dirinya adalah orang yang penting dan dibutuhkan di mana-mana. Banyak orang yang telah ia tolong, dan masih banyak lagi yang butuh pertolongannya. Setiap ada masalah, orang-orang akan selalu meminta tolong padanya. Padahal, bisa jadi, orang hanya minta tolong beberapa kali padanya dan untuk hal yang tak terlalu penting, atau bahkan tidak penting sama sekali, namun ia glorifikasi sedemikian rupa sehingga nampak sebagai pertolongan yang besar. Hal ini seringkali ia ungkit-ungkit dengan kata-kata yang kurang-lebih : “kalau bukan aku, bla..bla..bla..?!”
- Berperan sebagai orang yang sederhana dan rendah hati : Ini adalah strategi yang paling sering digunakan oleh para politisi selama masa kampanye. Mereka menampilkan diri sebagai seorang yang sederhana, rendah hati, dan sangat merakyat. Tentu saja, harapannya agar mereka dipilih oleh masyarakat. Setelah terpilih, nampaklah watak aslinya. Dalam konteks yang lebih personal, perilaku semacam ini juga sering ditampilkan oleh orang-orang toxic pada umumnya. Mereka membuat narasi untuk mengarahkan pikiran dan keyakinan orang lain bahwa si toxic adalah seorang yang jujur, rendah hati, lugu, ramah, lemah lembut, setia kawan dan tidak aneh-aneh.
- Berperan sebagai orang cerdas/cendekiawan : Tanpa mengatakan bahwa dirinya cerdas atau berwawasan, seorang yang benar-benar cerdas dan berwawasan akan tercermin dari apa yang ia lakukan dan apa yang ia katakan. Bagaimana caranya memilih tema pembicaraan, mengambil sudut pandang, pemilihan diksi, menyusun kalimat, menyusun alur logika, dst, akan terlihatlah apakah seorang itu cerdas ataukah tidak. Semakin cerdas seseorang, akan membuat segala hal menjadi lebih mudah dan sederhana untuk dipahami. Nah, orang yang kurang cerdas dan kurang berwawasan, namun ingin membuat image bahwa dirinya cerdas dan berwawasan, biasanya justru akan menggunakan jargon-jargon yang sulit dipahami orang lain. Mereka seringkali merumitkan hal yang sesungguhnya sederhana. Alih-alih membuktikan kecerdasannya dengan aksi dan karya nyata, orang semacam ini lebih sering mengunggulkan dirinya dengan menceritakan pengakuan orang lain tentang betapa cerdas dan berwawasannya dirinya. Ia menceritakan bahwa ia selalu dijadikan referensi bagi orang lain tentang banyak hal, tak hanya oleh teman, bahkan orang-orang penting di lingkungannya.
- Berperan sebagai orang yang ditakuti : Ia banyak menceritakan perilaku-perilaku agresif yang (katanya) pernah ia lakukan, dari agresi yang bersifat verbal bahkan fisik. Ia sering menceritakan bagaimana ia memaki-maki orang lain, bahkan berkelahi dan memukuli orang lain. Tak lupa, ia akan menceritakan pula efek dari perbuatannya tersebut, seperti ketakutan, ketundukan, bahkan luka-luka secara fisik. Bukan hanya itu, orang semacam ini juga sering menceritakan seberapa kuat backing-annya, dari tokoh preman orang penting, hingga aparat negara. Mereka pun sering menyebut dirinya dengan hal-hal yang menakutkan, seperti herder, anjing galak setan, iblis, tukang pukul, preman, dan semacamnya.
- Berperan sebagai orang yang sukses dalam karir dan finansial : Orang yang sukses karir dan finansial, biasanya akan lebih dipandang dan dihormati di lingkungan sosialnya. Dengan demikian, opini-opini mereka pun akan lebih didengar dan dianggap oleh orang lain. Karena previlage inilah, ada orang yang sejatinya tidak atau belum sukses secara karir dan finansial ingin nampak sukses dalam hal tersebut. Ada yang bahkan menghalalkan segala cara untuk itu.
- Memerankan sebagian atau semua peran di atas.
Sekali lagi perlu digaris-bawahi, semua hal yang disebut di atas adalah “peran sebagai”. Peran bukanlah hal yang sesungguhnya. Peran adalah kepalsuan dan pencitraan. Sejatinya, kaum toxic itu bertolak-belakang dari apa yang mereka perankan tersebut. Untuk membangun perannya, mereka banyak sekali menggunakan kebohongan. Tak heran karena kaum toxic adalah para pembohong yang lihai. Ia bisa berbohong dengan lancar dan natural, sehingga cukup sulit untuk dideteksi. Kebohongan itu kemudian diikuti dengan pemutarbalikan fakta, framing, pemilihan fakta, janji-janji, harapan palsu, dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menyempurnakan peran yang ia mainkan tersebut.
2. Intimidasi
Masih ingat kasus Gilang Si Tukang Bungkus beberapa waktu yang lalu? Iya, gilang si predator seksual yang memaksa korban-korbannya membungkus/dibungkus dengan kain, untuk memuaskan fantasi seksual menyimpangnya. Kasus tersebut adalah contoh tentang bagaimana kaum toxic menggunakan intimidasi untuk mencapai tujuan. Ketika para korbannya mulai menyadari ada hal yang tidak beres, atau banyak bertanya lebih detail tentang apa yang ia sebut sebagai penelitian bungkus-membungkus tersebut, maka ia mulai menggunakan bahasa-bahasa intimidatif pada para korbannya. Tujuannya jelas, agar para korbannya takut, tak banyak bertanya dan segera menuruti kemauannya.
Intimidasi sendiri diartikan sebagai perilaku-perilaku yang bertujuan untuk mengancam atau membuat lain takut orang, sehingga, yang diintimidasi akan menuruti kemauan dari si pembuat intimidasi tersebut. Sebelumnya, pelaku intimidasi akan terlebih dahulu memanipulasi pikiran dan perasaan orang yang diintimidasi, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencelakai atau menghancurkan hidup dari orang yang diintimidasinya. Ia harus nampak sangat kuat dan berkuasa di mata orang yang diintimidasinya tersebut;
Intimidasi juga bisa dilakukan dengan cara lain, yaitu pemerasan. Dengan cara ini, pelaku intimidasi mengancam untuk membuka informasi-informasi pribadi dan rahasia yang dapat mengahancurkan hidup orang yang diintimidasinya tersebut.
Tak hanya untuk menciptakan kepatuhan, orang toxic juga sering menggunakan strategi intimidasi untuk mengikat korbannya agar tak lari darinya. Bisa jadi ia menggunakan ancaman langsung, seperti ancaman untuk disakiti atau dibunuh, dituntut secara hukum, dialporkan polisi, dsb, sehingga membuat si korban takut untuk lari; atau berbagai pemerasan, seperti ancaman untuk membongkar aib-aib korban jika ia pergi darinya. Inilah salah satu alasan mengapa sang korban sulit lepas dari sebuah hubungan toxic.
3. Guilt Trip
Guilt trip adalah strategi manipulasi pikiran dan perasaan untuk menimbulkan rasa bersalah, rasa menyesal, dan rasa harus bertanggungjawab dalam diri orang lain. Walaupun tidak melulu dilakukan oleh orang toxic, namun strategi ini sering dilakukan para toxic untuk membuat korbannya mengikuti kemauannya. Lagi-lagi kita gunakan Gilang Si Tukang Bungkus sebagai contohnya. Ia seringkali mengaku vertigo ketika para korbannya tak mengikuti arahan-arahan yang ia berikan. Ia ingin korbannya merasa bahwa vertigo yang dialaminya adalah akibat dari keengganan korbannya untuk mengikuti kemauannya. Dengan perasaan bersalah itu, Gilang mengharapkan bahwa para korban akan lebih kooperatif untuk menuruti kemauannya.
Strategi guilt trip yang dilakukan oleh gilang masih relatif kasar, terlalu eksplisit dan cukup mudah untuk dideteksi. Banyak orang toxic di luar sana yang jauh lebih terampil untuk menggunakan strategi ini kepada para korbannya, hingga si korban pun tak menyadari bahwa ia sedang dimanipulasi oleh orang toxic tersebut selama bertahun, bahkan berpuluh tahun. Seorang toxic sebagai pelaku guilt trip bisa membuat korbannya: merasa bersalah atas kesalahan yang tidak dilakukannya; merasa bukan teman atau pasangan yang baik karena tak bisa memenuhi keinginan si toxic; mau menanggung akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh si toxic, atas nama kesetiaan, solidaritas atau rasa tanggung jawab; selalu mencari pengakuan dan persetujuan dari si toxic; merasa dibutuhkan sehingga tak bisa meninggalkan si toxic; dsb. Adapun strategi yang dilakukan seorang toxic untuk menciptakan itu semua misalnya dengan:
- Mengancam menyakiti diri atau bunuh diri
- Pura-pura sakit.
- Berulang kali menceritakan penderitaan-penderitaan hidupnya.
- Mengungkit pengorbanan-pengorbanannya.
- Menghilang dari korbannya tanpa kabar.
- Menyalahkan secara eksplisit (blaming).
- Menyalahkan melalui sindiran.
- Mengungkit-ungkit kesalahan korban di masa lalu tanpa alasan yang relevan.
- Membanding-bandingkan korban dengan orang lain.
- Tiada hari tanpa mengkritik.
- Dengan permohonan penuh iba dan harap.
- dsb
4. Reverse Guilt Trip
Strategi ini secara umum sama dengan guilt trip (tanpa reverse), yaitu upaya manipulasi pikiran dan perasaan seseorang dalam rangka menimbulkan rasa bersalah, menyesal, atau perasaan bahwa ia harus bertanggung jawab untuk suatu hal. Jika dalam guilt trip pelakunya secara langsung menimpakan kesalahan kepada orang lain; dalam reverse guilt trip, si pelaku justru (seakan-akan) menyalahkan dirinya sendiri. Biasanya dengan kata-kata semacam ini:
- “Aku memang tidak berharga, hidupku cuma untuk menyakitimu”
- “Bodohnya aku kenapa harus terus memaksakan hubungan ini”,
- “Aku memang nggak layak disayangi”,
- “Aku cuma sampah yang membebani hidupmu”,
- “Aku memang nggak layak untukmu, kamu harusnya bahagia bersama yang lain”,
- “Dunia akan lebih indah tanpaku”
- Dsb
Pelaku menyalahkan dirinya bukan karena menyesali apa yang telah ia lakukan pada orang lain, tapi justru sebaliknya, ia ingin memanipulasi rasa bersalah dan penyesalan di hati orang lain/korbannya. Jika si korban, karena rasa tidak tega, rasa bersalah, dan semacamnya, kemudian melunak dan mengikuti kemauan si pelaku, maka bisa dikatakan bahwa pelaku telah sukses memanipulasi pikiran dan perasaan korbannya.
5. Belittling
Belittling terdiri dari dua kata yaitu Be+Littling, yang secara harfiah berarti menjadikan kecil, atau mengecilkan. Sedangkan arti yang lebih tepat adalah meremehkan atau merendahkan. Secara istilah, belittling adalah kata, kalimat atau perilaku untuk membuat orang lain merasa kecil, tidak penting, inferior, tidak berkompeten, minder, tidak pantas atau merasa tidak dianggap. Beberapa bentuk perilaku belitlling adalah:
- Kritik destruktif : kritik yang hanya didasari asumsi atau prasangka; atau, walaupun didasari fakta namun disampaikan dengan bahasa yang merendahkan, melecehkan dan memicu pesismisme. (Artikel terkait kritik destruktif : Kritik : Destruktif VS Konstruktif )
- Trivializing : menganggap apa yang dirasakan, dipikirkan, dialami, dicapai, atau oleh orang lain sebagai sesuatu yang tidak penting, tak perlu diperhatikan, diabaikan, dianggap rendah atau biasa saja. Sebagai contoh, ada seorang yang tersinggung karena temannya bercanda melewati kewajaran, kemudian si teman tersebut mengatakan: “ah, baperan lu”, “ga asik ah”, “kamu orangnya sensitif”, dsb. Padahal dengan standart normatif bisa dikatakan behwa tema bercanda si kawan tersebut sudah melewati batas. Atau, ada seorang yang membuat sebuah karya tulis yang cukup bagus, namun dikomentari sebagai karya yang biasa-biasa saja, tidak bagus, tidak terlalu bermanfaat, dsb, di mana komentar tersebut tidak didasari realitas dan memang bermaksud merendahkan kemampuan si penulis. Atau, “Ah cuma kaya gitu aja, apa yang aku alami lebih sakit daripada apa yang kamu alami sekarang.”
- Condescension : menggunakan bahasa-bahasa yang bertujuan untuk mempermalukan, untuk membuat orang lain nampak bodoh, tidak percaya diri, merasa lemah, bingung, ragu, dsb. Sebagai contoh: Membandingkan seseorang dengan orang lain yang berkonotasi negatif, seperti orang bodoh, orang curang, orang malas, dsb. Misal: “Kamu sama si B itu 11 : 12”, (misal, Si B adalah seorang dengan karakter bodoh, pemalas, susah diberi tahu dan pengertian, dsb).
- Penghinaan : menggunakan kata-kata yang secara eksplisit memang menghina atau merendahkan. Sebagai contoh memaki dengan kata-kata kotor atau menyamakan dengan hal yang buruk/kotor, seperti binatang, anjing, monyet, babi, pelacur, penjahat, bajingan, bangsat, sampah, racun, penyakit, dsb.
- Discounting : mengungkit kesalahan atau kegagalan orang di masa lalu, untuk membuatnya merasa bersalah, meresa gagal, atau tidak punya kompetensi. Sebagai contoh: “setelah kamu gagal tahun lalu, apakah mungkin kamu bisa berhasil sekarang? Maaf kalau aku pesimis kamu bakalan bisa.”
- Undermining : mempertanyakan kapasitas, pemahaman atau kompetensi seseorang, dengan maksud menjatuhkan. Misalnya: “Aku kok bingung sih baca tulisanmu. Kamu sebenarnya mau jelasin apaan sih, kok rasanya muter-muter ga jelas? Kamu paham apa yang kamu tulis nggak sih?” Ucapan ini disampaikan untuk sesuatu yang sesungguhnya sudah dijelaskan dengan baik dalam tulisan tersebut. Ucapan itu memang semata ditujukan untuk membuat si penulis menjadi ragu dengan kemampuannya sendiri.
Apa yang membuat perilaku belittling ini berbahaya adalah, karena biasanya, hal ini awalnya tidak terlalu dianggap serius oleh korbannya. Kata-kata belittling seperti : ”dasar OON”, “ah kapasitas pikiranmu nggak akan nyampe”, “kok kamu nggak dapet-dapet jodoh sih?” dsb; atau panggilan-panggilan berkonotasi negatif : si Koplak, si Poekok, si Oneng, dsb; mungkin hanya dianggap candaan ringan, atau bahkan kritik konstruktif. Namun bisa jadi, hal itu kemudian membuatnya merenung dan bertanya, jangan-jangan apa yang mereka katakan itu memang benar adanya. Terlebih jika ia menemukan hal-hal yang ia persepsikan sebagai bukti nyata bahwa ia memang layak direndahkan. Seiring berjalannya waktu, perasaan-perasaan gagal, rendah diri, bodoh, dsb, akan terakumulasi dalam pikiran dan perasaannya , hingga akhirnya ia meyakini bahwa memang itulah dirinya, yang kemudian berdampak pada hancurnya rasa harga diri, percaya diri, dan optimisme.
Strategi ini tidak selalu digunakan oleh orang toxic, namun, orang-orang toxic sangat sering menggunakan metode ini untuk membuat korbannya tidak berdaya dan tergantung padanya. Nah. orang toxic bisa membungkus perilaku ini sebagai sebuah candaan bahkan cara dia menyayangi dan memberikan perhatian; sehingga jika si korban tersinggung, ia bisa berkilah, atau bahkan membalik serangan seoalah-olah korbannyalah yang terlalu sensitif.
6. Isolasi
Isolasi dalam konteks pembahasan kita kali ini adalah upaya seorang toxic untuk membatasi ruang gerak korbannya, guna membatasi interaksi korban dengan orang lain, seperti teman, sahabat, keluarga; atau, membatasi aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilakukan oleh korban. Ia ingin korban memberikan seluruh waktunya untuk si toxic. Dalam hal ini, si toxic seakan menjadi manajer bagi si korban. Ia lah yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh korban. Ia juga mengatur kepada siapa korban boleh berinteraksi dan kepada siapa ia tak boleh berinteraksi. Demikian juga sebaliknya, si toxic akan menyaring siapa saja yang boleh punya akses kepada korban dan siapa yang tidak. Ia menampilkan diri seolah hanya ia satu-satunya yang dipercaya oleh korban.
Hal ini bisa dilakukan oleh si toxic misal melalui intimidasi, yaitu, mengancam korban jika nekat berinteraksi dengan orang lain tanpa seijinnya, maka korban akan menerima konsekuensi buruk dari si toxic; atau melalui manipulasi dan indoktrinasi, misalnya dengan meyakinkan korban bahwa hanya si toxic yang layak dipercaya oleh korban, sedangkan informasi dari orang lain adalah hoax dan tak layak dipercaya. Upaya untuk mengisolasi korban juga bisa dilakukan oleh seorang toxic dengan sering menghubungi korban, menanyakan ia ada di mana, mengatakan bahwa ia butuh kehadiran korban saat ini, mengungkapkan bahwa dia tak suka atau cemburu, membayangi, menguntit, dsb, khususnya ketika korban sedang bersama orang lain. Hal ini akan membuat korban merasa bersalah, malu, tidak nyaman, hingga akhirnya memilih menyerah mengikuti kemauan si toxic tersebut.
Di samping itu, upaya isolasi ini dilakukan oleh toxic pada korbannya, karena si toxic sangat khawatir korban akan membicarakan dirinya dengan orang lain. Tentu saja, hal ini berpotensi untuk membuka topeng-topeng si toxic tersebut, sehingga menggagalkan seluruh niat jahatnya.
Pada Akhirnya
Ketika kamu sadar ada orang lain yang melakukan hal di atas, maka kamu harus segera mengambil tindakan tegas. Jangan sampai membiarkan dirimu hanyut lebih lebih jauh ke dalam alur permainan mereka. Jelaslah tidak ada hal positif untuk bertahan menjalin hubungan dengan orang toxic. Ia akan mengambil apapun yang kita miliki hingga akhirnya kita tak lagi memiliki apapun yang tersisa. Lakukan tindakan tegas, atau jika tidak bisa, segeralah menjaga jarak dan pergi jauh-jauh darinya.